Senin, 29 Maret 2010

Terpaksa Aku Berlari...

Berdiri di ujung jambatan tua, hari terik sekali. Matahari seakan membakar sekujur tubuh. Angin yang segan-segan menghembus tak mampu memberikan kesejukan. Arus sungai keruh itu jua yang kutatap. Ada ragu yang bersarang, tak bergerak di kepala. Muak.

Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kenapa tidak sedikitpun memberi tenaga bagiku untuk menjadi anak jantan…

Tepat di hadapanku adalah Pelabuhan Sungai Duku. Ramai. Kedatangan dan kepergian bersalin silang di sana. Seperti hidup, datang dan pergi adalah instrument yang senantiasa ada, tidak bisa tidak. Ada yang datang dan ada yang pergi.

Sementara aku? Sebut saja pendatang. Sudah seminggu tiba di Pekanbaru, tak tahu ke mana nak dituju. Ini pertama kali kulakukan keberangkatan tanpa niat dan tujuan. Seperti awan, berarak mengikuti angin. Lihat! di ujung jambatan tua ini aku bebas menatapnya di atas sana, bergerak perlahan tapi pasti, apakah mereka sedang berlari?

Lari; berjalan kencang, melepaskan diri dari suatu kongkongan, pergi meninggalkan kewajiban, menyelamatkan diri, mengelak atau membawa lari. Entah. Tapi mungkin saja sesuatu yang bergerak adalah sebuah pelarian. Yang kumaksud tidak bermakna meninggalkan tetapi hanya bergerak. Seperti sungai yang memanjang ini, meskipun keruh, dan berminyak, tetap saja berarus. Bukankah ini yang disebut air yang suci lagi mensucikan? Ya, aku ingin bergerak, berarak dan berarus atau bahkan aku ingin lari. Ke mana?

Ibarat berjalan, di sini aku menemukan simpang yang menjulur panjang seperti lengan-lengan raksasa. Di kiri kanannya ada pohon yang melambai-lambai, bunga indah yang terangkai, hijau daun yang menyejukan. Hanya sayangnya, tak jua kutemui arah. Suara itu, ya... akhirnya kudapati suara penyair yang berkisah: aku pun di sini, dan kau tak dapat berlari, kau hanya sisa masa lalu, yang berayun lena dengan sejarah, sementara diammu tak bermakna apa-apa, langkah tak sedikit langkah pun yang kau mulai…bayang-bayang yang melintas itulah kau.

Aku pun di sini. Dan aku harus berlari. Memang aku sedang merancang langkah yang barangkali dapat dikatakan sebuah pelarian. Bahwa aku berasal dari daerah yang baru saja mekar menjadi sebuah kabupaten baru, kemudian aku lari darinya. Aku lari dari keterpecahan dan perpisahan. Firasatku mengatakan bahwa semuanya akan bermuara pada hal yang lebih teruk lagi, bisa saja mungkin kita sama kita yang bertikai. Tetapi semoga itu hanya firasat. Sesungguhnya, aku tidak mau terjebak dengan sebutan yang dibeda-bedakan tetapi ada kesamaan mutlak yang tentunya tidak bisa dihapus. Sesuatu yang telah berakar dan mentradisi lekat sampai ke bawah kulit bahwa kita adalah sesuku, seasal, senenek, semoyang. Terlebih lagi aku juga bimbang dengan suara-suara lengkingan itu, takut kalau-kalau hanya suara kepentingan yang berasal dari segelas kaca kosong yang kemudian apabila telah terpenuhi maka ia akan redam, senyap seperti malam.

Tapi kusadari dunia yang kubangun dalam pikiran ini hanya firasat buruk, barangkali berbeda dengan yang sedang terjadi di depan mata, itu makanya aku lari, dengan begitu ketika terjadi hal yang tak diinginkan seperti firasat burukku itu, aku tidak langsung menyaksikannya dan tentunya hal itu sungguh memalukan, bukan? Apakah ini perbuatan yang salah? Pantaskah aku masih disebut anak jantan?

Tetapi kini persoalannya menjadi lain. Ke mana arah tak jua bisa kuputuskan. Lagi-lagi kutemui ketermanguan di sini. Aku yang lesu duduk di ujung jambat tua menatap arus sungai keruh. Muak.

Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kenapa tidak sedikitpun memberikan tenaga bagiku untuk menjadi anak jantan…

Kembali kualihkan pandang ke pelabuhan. Tempat manusia berlalu-lalang. Datang membawa mimpi dan harapan, begitu juga yang pergi. Manusia adalah makhluk yang senantiasa melipat mimpi dan harapan itu di dalam sebuah travel-bag, dibawa kemana pun melangkah. Tanpa sadar sebenarnya kita dalam perjalanan, dalam proses keberangkatan. Lalu di suatu waktu yang tepat, mimpi dan harapan akan dipunggahkan menjadi kenyataan atau justru sebaliknya; hanya jadi senandung untuk mengobati kekecewaan. Sebagai pelipur lara.

Kuli pelabuhan yang bengis, penumpang yang sombong, penjaga keamanan yang pongah, pedagang yang membual, penjaja yang letih dan licik, supir-supir yang seolah ramah, calo yang memekak, penjual karcis yang muram dan aku diseberangnya. Keramaian yang akrab sekaligus asing.

Tiba-tiba kurasakan ada yang keluar dari dalam diri. Membaca kesemuanya, namun tak menemukan makna. Membaui keseluruhan tetapi tidak beraroma. Lalu sesuatu yang keluar itu terbang meninggi. Berusaha menterjemahkan segalanya. Tapi sekian lama hanya kerut di dahi yang muncul. Sebab rangkaian peristiwa menyerupai huruf-huruf yang beserak di atas kertas putih. Tak satu kata pun dapat dirangkai menjadi petunjuk. “Ini sebuah fenomena hidup” katanya setengah berbisik. “Tak perlu berlari, sebab hidup adalah proses pengulangan, yang berbeda hanya zamannya…” Kemudian sesuatu yang berbentuk bayang-bayang itu luncas, hilang seperti debu terbawa angin. Aku hanya terkesiap seakan tak berani menatap, hanya menunduk. Sesaat kemudian aku terpeka, samar-samar di permukaan sungai yang keruh, membentuk sebuah layar kaca datar seukuran kira-kira tiga kali empat meter. Entah bagaimana itu terbentuk tidak sempat kuberpikir tetapi layar kaca yang ada di air itu tidak beriak dan tidak bergelombang, seperti tersekat, tidak menyatu dengan permukaan air sungai.

Seperi menonton film, kemudian aku dihadapan dengan kisah-kisah yang rasanya asing namun terasa dekat dan akrab. Barangkali kisah-kisah itu terjadi pada masa silam, di masa yang jauh; seseorang yang berpakaian seperti raja turun ke laut. Di dalam laut tersebut ia sampai pada sebuah kerajaan, lalu kawin dengan salah seorang putri mahkota dan kemudian mendapat anak. Ia kembali dari laut dengan menunggang seekor kuda. Setelah dewasa, ketiga anaknya pergi ke sebuah bukit dengan menggunakan seekor lembu putih, sesampai di sana mengakibatkan padi menjelma menjadi emas, daunnya menjadi perak dan batangnya menjadi perunggu. Dan tiba-tiba lembu itu muntah menjelmalah seorang lelaki…

Selanjutnya kisah tak dapat ditangkap oleh pandangan mataku. Terlalu cepat, seperti di past forward. Setelah normal kembali aku dihadapkan pula dengan kisah yang lain; dua orang sedang bertarung. Dari pakaian yang dikenakan, barangkali saja mereka pantas disebut laksemana. Aku menyaksikan pertarungan yang seimbang, sama-sama kuat. Dari percakapan yang kudengar bahwa mereka adalah sahabat lama, tetapi mengapa harus bertarung satu dengan yang lainnya? Kemudian tiba-tiba aku merasakan seolah-olah yang bertarung itu adalah aku. Yang membuat aku lebih terkejut lagi bahwa lawanku juga adalah diriku yang lainnya. Tak sempat bernafas, terperangah pula melihat di sekeliling, ada begitu banyak orang yang menyaksikan pertarungan yang ternyata adalah aku, aku dan aku. Mereka memekikkan kata “Bunuh… bunuh… bunuh !”

Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kenapa tidak sedikitpun memberikan tenaga bagiku untuk menjadi anak jantan…

Tubuhku tiba-tiba menggigil hebat. Merasakan keanehan yang luar biasa lalu seperti menciut dan keasingan itu semakin merasuk ke dalam diri. Aku tak mampu lagi duduk di ujung jambat tua ini. Satu-satunya cara kupanggil seorang yang sedang mendayung sampan, aku harus lari ke seberang. Setelah naik di atas sampan, aku mengisal mata, seolah tak percaya. Ternyata yang mendayung sampan adalah aku. Sambil tersenyum letih ia bertanya “Nak ke mana Encik?”

Entah dari mana kudapatkan keberanian dan tenaga, aku menceburkan diri ke dalam sungai yang keruh. Berenang ke seberang. Matahari semakin terik, angin yang malas menyapu tubuhku yang kini basah kuyup. Ya…aku lari dari aku yang sedang mengayuh sampan.
Sampai ke seberang, aku masih melihat aku yang di atas sampan melambaikan tangannya. Lambaian penuh makna. Tak ada pilihan lagi, nampaknya aku harus berlari. Lari dari keanehan dan keasingan ini. Dengan tekad yang kuat, aku pun memulai langkah. Tapi tunggu dulu, di pelabuhan Sungai Duku ini waktu seperti berhenti. Ya, aku mulai curiga, kulihat kiri dan kanan, depan dan belakang. “Astaga!”

Apakah ada pemandangan yang lebih gila dari yang kusaksikan sekarang ini? Orang di sekelilingku --seluruh yang ada di pelabuhan-- diam mematung. Seperti tugu-tugu mati yang mengisyaratkan misteri yang paling dalam. Sekali lagi tubuhku menggigil hebat. Merasakan keanehan itu lagi, menciut dan keasingan itu semakin merasuk ke dalam diri. Betapa tidak, ternyata yang diam mematung itu; kuli pelabuhan, penumpang, penjaga keamanan, pedagang, penjaja, supir-supir, calo, penjual karcis adalah aku. Kuperhatikan satu per satu, rupa, bentuk tubuh, gelagat mereka mencerminkan diriku, hanya pakaian mereka saja yang berbeda.
Ada aku yang gemuk, aku yang kurus, aku yang berpakian necis, gaul, dan ada aku yang berpakaian seperti peminta-peminta. Lihat! di bangku penantian penumpang aku melihat aku yang perempuan sedang menggendong aku yang masih kecil. Lengkap…! Seluruh yang ada di pelabuhan ini adalah aku dan aku.

Waktu memang berhenti di sini. Aku mulai menebak-nebak, apakah sememang hendak diabadikan momen keanehan dan keasingan yang terjadi di sini, di ibu kota provinsi ini. Tatapan mereka-aku-aku itu -menembus sampai ke relung hati. Tatapan yang di dalamnya bergejolak rasa yang sama seperti kurasakan saat ini. “Wahai…!”

Lalu aku berlari ke arah pinggir sungai seraya menyerukan kata-kata “Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kuserukan padamu… berikan badi... berikan magimu…” sejenak hanya senyap yang sayup menikam seluruh tubuh. Gema suaraku di sebarang sana seperti memantulkan kekuatan yang tak dapat diceritakan. “Ya…lari…! “

Aku berlari… Entah sampai bila membawa keasingan ini. Mungkinkan berdamai? Kutinggalkan Pelabuhan Sungai Duku dengan segala keanehan dan keasingannya menuju ke pusat kota yang ternyata membuat aku lebih merasa terasing; gedung-gedung megah yang sunyi tak berpenghuni seperti memelihara keasingan di dalamnya, ruko-ruko yang berbaris seperti mengejek dan menjulurkan lidah-lidah keasingan, cakap-cakap yang berselerak di pasar, jalan raya, kedai kopi, mal, di dalam bus, sekolah, kantor-kantor dan di setiap sudut-sudut kota adalah bahasa keasingan yang lepas luncas dari akarnya, tubuh-tubuh yang dibalut pakaian dengan pesona yang menunjukkan identitas peradaban tinggi ternyata hanya sebatas seremonial belaka. Lagi-lagi keasingan itu yang menjelma, ia bagaikan awan hitam yang memayungi negeri ini. Lari aku terus berlari, berharap semoga tak meninggalkan jejak… langkah di mana langkah akan menjadi tempat perhentian.***

Selasa, 09 Maret 2010

Kesaksian Alam

Gemuruh bersahutan
Halilintar berbenturan
Melantunkan sabda Alam
Mengabar murkanya Tuhan
Halimun merayap mendatar
Menyelimuti suramnya Malam
Bintang menjadi titian
Menuju redupnya alam kelam
Insan Alam berpesta pora
Dalam lingkaran syetan
Saat rembulan duka
Diselimuti mega hitam
Tuhan tlah murka
Alam tlah duka
Mungkinkah pagi kan menjelma
Mungkin mentari kan kembali tersenyum ??
Segala terpulang pada Nya

Selasa, 02 Maret 2010

Sikalas peradaban Pelacuran

Keberadaan pelacuran sudah sedemikian menyejarah. Hampir setiap peradaban umat manusia tidak pernah sepi dari pelacuran. Pada masa Nabi Shale, misalnya, pelacuran terjelma dalam bentuk iming-iming seorang wanita cantik bernama Shaduq binti Mahya kepada Masda bin Mahraj yang berjanji membunuh unta Nabi Shaleh. Langkah ini kemudian diikuti oleh wanita lain yang menyerahkan kehormatan anak gadisnya kepada pemuda Qudar bin Salif (Ihsan: 2004:129-136).

Dikemukakan Ihsan, para antropolog menggambarkan bahwa pelacuran merupakan fakta yang tak dapat dielakkan, karena adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki. Para antroplog melihat bahwa pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yang berpola matriarkhi. Sedangkan kaum feminis memandang bahwa pelacuran adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara kaum Marxis melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan kapitalisme.
Pelacuran dalam sejarahnya juga bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah “pelacur kuil” (temple prostitutes). Pelacuran model ini ditemukan di pada kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuna, Palestina Kuna, Yunani, dan Romawi. Para pelacur ini berkeliaran di jalan-jalan dan di kedai-kedai minuman, mencari mangsa laki-laki. Kemudian, penghasilannya diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil. (Ihsan; 2004:130)
Kedudukan pelacur memang naik turun, kata Ihsan selanjutnya (2004:130). Suatu masa, pelacuran ditempatkan tak lebih sebagai perbudakan. Mereka distempel sebagai masyarakat kelas bawah. Biasanya mereka lebih banyak beroperasi di jalan-jalan. Di Yunani, pelacur jalanan disebut pornoi. Masyarakat Yunani Kuna yang merupakan salah satu peradaban purba, jauh-jauh telah mengenal apa yang disebut “pelacuran kuil” –sebuah institusi purba tempat pera pelacur menyumbangkan uang hasil kerjanya untuk kuil Aphrodite demi mendapatkan berkah anugerah dari para dewi. Mereka disebut dengan nama Hierodouli. Kebiasaan-kebiasaan seksual pun telah bertumbuh secara variatif. Mereka telah mempraktikkan gaya-gaya seks seperti vaginal, anal, kontak paha, oral, jilat-jilat klitoris, masturbasi, threesome, gaya 69, sadisme seks, pesta orgi, alat bantu (dildo), dan seks dengan binatang. Demikian juga praktik-praktik seks sesama jenis seperti lesbian dan gay yang dikenal dengan nama pederasta (Ihsan; 2004:14).
Di Romawi, pelacur dianggap penjahat dan pengganggu anak-anak. Di Roma, pelacur diharuskan menggunakan pakaian tertentu untuk membedakan dengan wanita kalangan bangsawan. Lebih ketat lagi, Asysyiria menetapkan pasal hukuman bagi pelacur yang membuka tutup kepalanya sebagai trade mark-nya. Di India Kuna, pelacur rendahan ini disebut khumbhadasi. Pada masyarakat India Kuna, kaum wanita dari golongan rendah hanya diberi dua pilihan, menikah atau menjadi pelacur. Sementara di Cina, pelacuran sudah mulai ditempatkan di rumah-rumah khusus. Pelacur yang berasal dari golongan rendah disebut wa she. Pada masa Dinasti Han, pelacur golongan ini dirumahkan bersama-sama dengan kelompok penjahat, tahanan perang, dan budak. Demikian halnya pada masa-masa awal masyarakat Islam, munculnya harem juga tak bisa dipisahkan dari pelacuran. Sudah mentradisi, orang-orang kaya biasa membeli ratusan budak wanita untuk dijadikan harem. Walaupun pelacuran jelas-jelas dilarang dan pemerintah memiliki muhtasib, polisi susila, diam-diam para budak wanita banyak yang dipekerjakan menjadi pelacur (Ihsan; 2004:131).
Pelacur tidak selamanya dipandang sebagai profesi rendahan. Dalam beberapa bangsa dahulu, pelacur justru menempati kedudukan terhormat. Pelacur terhormat ini memberikan pengaruh yang mendalam terhadap politik, seni, sumber inspirasi puisi, dan mode pakaian. Mereka datang dari kelas atas dan menengah. Mereka memilih profesi pelacur, karena waktu itu profesi ini menjadi satu-satunya jalan terbaik untuk meraih kekayaan dan gengsi sosial dalam masyarakat yang dikuasasi oleh kaum laki-laki. Mereka wanita terdidik dan mempunyai fungsi sosial yang besar, di saat kaum wanita dibatasi tinggal di rumah dan tidak diberi tempat dalam ruang publik.
Menurut Ihsan, (2004:132) pada zaman Babilonia, dikenal nama Kizrete yang disanjung-sanjung sebagai selir terhormat. Cerita-cerita rakyat mengisahkan pelacur terhormat ini juga mewarnai masyarakat Mesir Kuna. Tetapi, di antara bangsa-bangsa Kuna, hanya pada masa Yunanilah pengakuan tertinggi disematkan bagi pelacur. Oleh masyarakat Yunani Kuna, mereka mendapat julukan hetaerae. Di antara hetaerae yang terkenal di masa itu, Thargelia dari Ionia, Aspasia dari Athena, Sang Pecinta dari Perikles, dan Thais dari Athena. Thais dari Athena ini pernah diperistri oleh Alexander Agung. Setelah itu diambil alih oleh Ptolomeus, raja Mesir Kuna, dan dinobatkan sebagai permaisuri.
Hetaerae juga muncul pada masyarakat Muslim zaman dahulu, kata Ihsan (2004:132-133). Mereka biasanya berperan sebagai penghibur dan kebanyakan berasal dari luar daerah Muslim. Laki-laki yang ingin berhubungan dengan hetaerae harus melalui penghubung dan disewa untuk memberikan pelayanan seksual. Puisi-puisi cinta yang beredar di Timur-Tengah waktu itu banyak yang dikumandangkan untuk menghormati hetaerae ini. Demikian juga bangsa-bangsa seperti India, Cina, dan Jepang juga mengenal penyanjungan terhadap profesi pelacur terhormat ini. Di Jepang populer dengan istilah geisha.
Pada masa abad pertengahan, hetaerae paling terkenal adalah Ratu Theodora yang mengubah larangan hak milik bagi pelacur serta membangun penampungan bagi pelacur yang ingin meninggalkan profesinya.Di Venesia, Italia, tercatat nama Veronica Franco yang juga berhasil membangun tempat penampungan bagi pelacur pada 1577 M (Ihsan; 2004:133).
Secara historis, para pelacur berpindah bersama para tentara dan kelompok pekerja ke wilayah-wilayah di mana persediaan wanita sangat terbatas. Di lokasi tersebut para pelacur melakukan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, sekaligus membantu kegiatan seks laki-laki. Beberapa bukti menunjukkan, pada awal-awal berdirinya Amerika Serikat, para pelacur datang dari masyarakat kelas bawah. Namun saat ini, pelacur yang berasal dari kelas menengah maupun dari kelas atas sudah biasa. Sejarah ini menjadi karakteristik zaman Viktoria pada saat perempuan ditempatkan dalam kategori sempit, baik atau buruk, dan pada saat itu kaum laki-laki menggunakan double standard dalam seks akibat terlalu dominannya peran laki-laki. Dalam lingkup kultur yang lain, pelacur berasal dari semua kelas. Di antara mereka bahkan menempati kelas sosial yang relatif tinggi, seperti hetaerae dalam Yunani kuna, devadasis di India, dan geisha di Jepang. Meskipun ada pelacur yang ditempatkan dalam kelas yang demikian, pada umumnya mereka berasal dari kelas bawah (Schafer, S. et al.: 1975:43).
Menurut Schafer (1974:43), di Amerika Serikat, pelacuran tidak pernah diterima oleh masyarakat, demikian pula di negara-negara lain. Perlawanan terhadap pelacuran dilakukan secara besar-besaran di AS hingga usai Perang Dunia I, untuk menghindari kekhawatiran wabah sekaligus memprotes perang. Namun perlawanan ini kemudian dioperasi dengan dilakukan penjagaan polisi, meski itu di luar hukum yang berlaku. Pada suatu waktu, saat Wali Kota Chicago dijabat William Hale Thompson, para operator sekitar 2.000 bordil membayar polisi penjaga bordil 100 hingga 750 dolar AS perminggu. Bagaimanapun, dengan meningkatnya penyebaran wabah, investasi di rumah-rumah pelacuran semakin menurun.
Selama Perang Dunia II, sekitar 600.000 pelacur bersama jumlah yang sama dari wanita yang siap menjadi pelacur secara part timer diterjunkan. Lalu berapa jumlah pelacur di AS yang sekarang ini beroperasi, tidak diketahui. Bahkan seiring dengan iklim semakin bebasnya hubungan seks, dengan sendirinya kebutuhan pelacur menurun secara tajam. Meskipun para pelacur secara resmi tidak didukung pemerintah, angkatan bersenjata AS diajarkan bagaimana melindungi dan terbebas dari penyakit kelamin. Sebuah studi tentang penyakit kelamin di kalangan tentara AS di Eropa setelah Perang Dunia II menguak, rumah pelacuran yang mendapatkan izin menjadi sumber penyebaran infeksi GI, penyakit kelamin. Laporan lain mencatat bahwa 6% anggota tentara AS yang mengidap infeksi VD, diakibatkan melakukan hubungan seks dengan pelacur profesional, 80% akibat berhubungan dengan pelacur amatir, dan 14% lainnya disebabkan oleh istri-istrinya. Karena berbagai penyakit ini menyebabkan para tentara tidak bisa maju ke medan tempur, para petugas kesehatan ketentaraan AS merekomendasikan melakukan operasi rumah-rumah pelacuran secara kemiliteran sebagai bagian dari sistem operasi Post Exchange (PX) (Schafer, 1974:44).
Menurut Truong (1992:147), prostitusi semula merupakan subjek pinggiran. Pelacur bergerak ke daerah pusat politik seksual internasional dengan bangkitnya gerakan menentang rumah-rumah bordil berlisensi dan “perdagangan budak kulit putih”. Pencabangan dari gerakan pemurnian sosial yang lahir di akhir abad XIX di Barat (Inggris, Viktorian, Belanda, Kerajaan Jerman, dan Amerika Serikat), gerakan menentang perbudakan kulit putih diformalkan di tahap global sebagai The International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1904, serta The International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1910.
Gerakan ini mengerangkai isu pelacuran dalam konteks kejahatan perdagangan, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional (Chauvin, 1982). Pada mulanya gerakan tersebut menaruh keprihatinan terhadap para perempuan Barat yang diperdagangkan antara negara-negara Eropa Barat dengan Amerika Serikat, dan dari negara-negara ini ke wilayah-wilayah jajahan. Namun demikian, pengamatan terhadap situasi yang berlangsung di wilayah jajahan secara tak terelakkan mengakibatkan lahirnya toleransi terhadap pelacuran dan rumah bordil berlisensi dalam wilayah jajahan oleh pemerintah kolonial yang sedang mengalami serangan. (Truong; 1992:147-148)
Pada bagian lain, Truong mengemukakan, sebuah kajian lintas bentuk-bentuk intervansi negara dalam pelacuran terorganisasi di Asia Tenggara dan wilayah-wilayah lainnya menunjukkan bahwa intervensi negara dalam reproduksi lahir ketika peningkatan mobilitas geografis manusia (urbanisasi, migrasi, militerisasi, perdagangan) mendislokasikan hubungan-hubungan ikatan manusia. Hubungan-hubungan ini digantikan berbagai hubungan baru, yang menciptakan bentuk-bentuk baru hubungan seksual, hasrat dan signifikansi sosial yang diatur oleh hukum pasar. Sebagai hasilnya, keragaman wilayah tercipta melalui mana aspek-aspek sosial dan biologis reproduksi diorganisasikan, dengan berkaitan pada struktur kelas dan kadangkala etnik. Bergantung pada corak rumah tangga, komunitas dan negara, tugas-tugas biologis dapat bersifat integral atau terpisah dari tugas-tugas sosial reproduksi (Truong; 1992:340-341).
Dalam kasus Muangthai, (Truong: 1992:246), ditemukan bahwa di luar gambaran umum turisme, terdapat sejumlah faktor tambahan yang berperan dalam peleburan sistematis pelayanan seksual ke dalam jasa turisme. Ini mencakup karakter hubungan gender yang berakar dalam agama dan struktur kelas serta situasi geo-politik spesifik Asia Tenggara pada periode 1960-an. Penghukuman legal terhadap pelacur hadir hampir-hampir serentak dengan formalisasi legal industri hiburan, akibat kebijakan investasi yang ditujukan untuk menangkap pasar “rest and recreation” semasa konflik Indocina. Dualitas antara pengakuan dan pengingkaran terhadap pelacuran, digandakan dengan kedatangan masif tentara tentara AS, berakibat pada menjamurnya beragam bentuk pelacuran tersamar di dalam industri hiburan. Praktik-praktik ad hoc penyediaan pelacuran perlahan-lahan menjadi sistematis sebagai hasil dari tingginya tingkat akumulasi modal.
Basis industri dan pola ketenagakerjaan yang diciptakan semasa periode ini mendapat pukulan hebat ketika tentara AS menarik diri dari Indocina. Lebih jauh lagi, efek turisme Rest and Recreation terhadap anggaran pembelanjaan adalah sangat substansial sehingga ketika pasar ini menyurut, alternatif harus segera ditemukan untuk mempertahankan pengoperasian infrastruktur turisme dalam rangka mengejar pengembalian modal dan keuntunga. (Truong, 1992:346).
Kombinasi dari berbagai kepentingan bersama ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk meleburkan berbagai pelayanan seksual ke dalam proses produksi yang sangat terorganisasi dengan beragam titik distribusi pada tingkat internasional. Yang paling penting di antaranya adalah tumbuhnya turisme seks kolektif melalui agen penyelenggara tur yang dibeli oleh individu, kelompok, atau perusahaan transnasional sebagai bonus tambahan bagi karyawannya. Ini menunjukkan bahwa terdapat proses berkelanjutan akumulasi modal langsung dalam wilayah reproduksi (pemeliharaan dan pembaharuan kapasitas bekerja manusia) pada skala luas. Dalam kaitan ini, adalah relevan untuk menunjukkan bahwa bentuk paling kental dari jasa reproduksi di bawah hubungan komersial, yakni tur paket seks, mencerminkan sebuah kontradiksi dalam internasionalisasi pembangunan kapitalis. Adalah melalui proses pembangunan kapitalis hubungan-hubungan kekerabatan diberaikan dan selanjutnya jasa-jasa reproduktif difragmentasikan dan dileburkan ke dalam hubungan pasar. Melalui pembangunan kapitalis pula reintegrasi jasa-jasa reproduksi dapat berlangsung sepenuhnya di bawah hubungan pasar.

Senin, 01 Maret 2010

MENGINGATMU

Aku mengingatmu dalam diamku
kurenungi sebelum semuanya berlalu
sebelum perih mengganggu
sesaat senyummu beku
Aku mengingatmu…….
waktu berputar saling
belajar melupakan
tapi biarkan untuk terakhir
aku mengingatmu
menyusun kenangan dalam cinta
yang satu
membuatnya abadi
selalu

KENANGAN


Desahan embun perlahan sirna
terlepas  sebuah kenangan silam
rasa suci lambaikan tangisan
menyayat sembilu duka
Kudendangkan puisi hati
melukiskan dalamnya derita
hawa taburkan racun
meresap dalam buaian bayu
kuraih segenggam kehampaan
diatas hayalan mimpi
kenangan berlagu sendu
hanya tinggal catatan pilu
terpendam harapan hati
diantara keperian duka
Oh,Tuhan
dapatkah semua itu terulang kembali

MELANGKAH ...

Semalam aku bermimipi Tuhan
tapi sekarangdimana Tuhan
Engkau sudah kucari dalam diri
dalam darah,
   dalam ombak
          dalam gelombang
Bahkan dalam cakrawalapun kucari
Tapi dimana engkau
Tuhan……
Engkau maha pasti