Berdiri di ujung jambatan tua, hari terik sekali. Matahari seakan membakar sekujur tubuh. Angin yang segan-segan menghembus tak mampu memberikan kesejukan. Arus sungai keruh itu jua yang kutatap. Ada ragu yang bersarang, tak bergerak di kepala. Muak.
Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kenapa tidak sedikitpun memberi tenaga bagiku untuk menjadi anak jantan…
Tepat di hadapanku adalah Pelabuhan Sungai Duku. Ramai. Kedatangan dan kepergian bersalin silang di sana. Seperti hidup, datang dan pergi adalah instrument yang senantiasa ada, tidak bisa tidak. Ada yang datang dan ada yang pergi.
Sementara aku? Sebut saja pendatang. Sudah seminggu tiba di Pekanbaru, tak tahu ke mana nak dituju. Ini pertama kali kulakukan keberangkatan tanpa niat dan tujuan. Seperti awan, berarak mengikuti angin. Lihat! di ujung jambatan tua ini aku bebas menatapnya di atas sana, bergerak perlahan tapi pasti, apakah mereka sedang berlari?
Lari; berjalan kencang, melepaskan diri dari suatu kongkongan, pergi meninggalkan kewajiban, menyelamatkan diri, mengelak atau membawa lari. Entah. Tapi mungkin saja sesuatu yang bergerak adalah sebuah pelarian. Yang kumaksud tidak bermakna meninggalkan tetapi hanya bergerak. Seperti sungai yang memanjang ini, meskipun keruh, dan berminyak, tetap saja berarus. Bukankah ini yang disebut air yang suci lagi mensucikan? Ya, aku ingin bergerak, berarak dan berarus atau bahkan aku ingin lari. Ke mana?
Ibarat berjalan, di sini aku menemukan simpang yang menjulur panjang seperti lengan-lengan raksasa. Di kiri kanannya ada pohon yang melambai-lambai, bunga indah yang terangkai, hijau daun yang menyejukan. Hanya sayangnya, tak jua kutemui arah. Suara itu, ya... akhirnya kudapati suara penyair yang berkisah: aku pun di sini, dan kau tak dapat berlari, kau hanya sisa masa lalu, yang berayun lena dengan sejarah, sementara diammu tak bermakna apa-apa, langkah tak sedikit langkah pun yang kau mulai…bayang-bayang yang melintas itulah kau.
Aku pun di sini. Dan aku harus berlari. Memang aku sedang merancang langkah yang barangkali dapat dikatakan sebuah pelarian. Bahwa aku berasal dari daerah yang baru saja mekar menjadi sebuah kabupaten baru, kemudian aku lari darinya. Aku lari dari keterpecahan dan perpisahan. Firasatku mengatakan bahwa semuanya akan bermuara pada hal yang lebih teruk lagi, bisa saja mungkin kita sama kita yang bertikai. Tetapi semoga itu hanya firasat. Sesungguhnya, aku tidak mau terjebak dengan sebutan yang dibeda-bedakan tetapi ada kesamaan mutlak yang tentunya tidak bisa dihapus. Sesuatu yang telah berakar dan mentradisi lekat sampai ke bawah kulit bahwa kita adalah sesuku, seasal, senenek, semoyang. Terlebih lagi aku juga bimbang dengan suara-suara lengkingan itu, takut kalau-kalau hanya suara kepentingan yang berasal dari segelas kaca kosong yang kemudian apabila telah terpenuhi maka ia akan redam, senyap seperti malam.
Tapi kusadari dunia yang kubangun dalam pikiran ini hanya firasat buruk, barangkali berbeda dengan yang sedang terjadi di depan mata, itu makanya aku lari, dengan begitu ketika terjadi hal yang tak diinginkan seperti firasat burukku itu, aku tidak langsung menyaksikannya dan tentunya hal itu sungguh memalukan, bukan? Apakah ini perbuatan yang salah? Pantaskah aku masih disebut anak jantan?
Tetapi kini persoalannya menjadi lain. Ke mana arah tak jua bisa kuputuskan. Lagi-lagi kutemui ketermanguan di sini. Aku yang lesu duduk di ujung jambat tua menatap arus sungai keruh. Muak.
Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kenapa tidak sedikitpun memberikan tenaga bagiku untuk menjadi anak jantan…
Kembali kualihkan pandang ke pelabuhan. Tempat manusia berlalu-lalang. Datang membawa mimpi dan harapan, begitu juga yang pergi. Manusia adalah makhluk yang senantiasa melipat mimpi dan harapan itu di dalam sebuah travel-bag, dibawa kemana pun melangkah. Tanpa sadar sebenarnya kita dalam perjalanan, dalam proses keberangkatan. Lalu di suatu waktu yang tepat, mimpi dan harapan akan dipunggahkan menjadi kenyataan atau justru sebaliknya; hanya jadi senandung untuk mengobati kekecewaan. Sebagai pelipur lara.
Kuli pelabuhan yang bengis, penumpang yang sombong, penjaga keamanan yang pongah, pedagang yang membual, penjaja yang letih dan licik, supir-supir yang seolah ramah, calo yang memekak, penjual karcis yang muram dan aku diseberangnya. Keramaian yang akrab sekaligus asing.
Tiba-tiba kurasakan ada yang keluar dari dalam diri. Membaca kesemuanya, namun tak menemukan makna. Membaui keseluruhan tetapi tidak beraroma. Lalu sesuatu yang keluar itu terbang meninggi. Berusaha menterjemahkan segalanya. Tapi sekian lama hanya kerut di dahi yang muncul. Sebab rangkaian peristiwa menyerupai huruf-huruf yang beserak di atas kertas putih. Tak satu kata pun dapat dirangkai menjadi petunjuk. “Ini sebuah fenomena hidup” katanya setengah berbisik. “Tak perlu berlari, sebab hidup adalah proses pengulangan, yang berbeda hanya zamannya…” Kemudian sesuatu yang berbentuk bayang-bayang itu luncas, hilang seperti debu terbawa angin. Aku hanya terkesiap seakan tak berani menatap, hanya menunduk. Sesaat kemudian aku terpeka, samar-samar di permukaan sungai yang keruh, membentuk sebuah layar kaca datar seukuran kira-kira tiga kali empat meter. Entah bagaimana itu terbentuk tidak sempat kuberpikir tetapi layar kaca yang ada di air itu tidak beriak dan tidak bergelombang, seperti tersekat, tidak menyatu dengan permukaan air sungai.
Seperi menonton film, kemudian aku dihadapan dengan kisah-kisah yang rasanya asing namun terasa dekat dan akrab. Barangkali kisah-kisah itu terjadi pada masa silam, di masa yang jauh; seseorang yang berpakaian seperti raja turun ke laut. Di dalam laut tersebut ia sampai pada sebuah kerajaan, lalu kawin dengan salah seorang putri mahkota dan kemudian mendapat anak. Ia kembali dari laut dengan menunggang seekor kuda. Setelah dewasa, ketiga anaknya pergi ke sebuah bukit dengan menggunakan seekor lembu putih, sesampai di sana mengakibatkan padi menjelma menjadi emas, daunnya menjadi perak dan batangnya menjadi perunggu. Dan tiba-tiba lembu itu muntah menjelmalah seorang lelaki…
Selanjutnya kisah tak dapat ditangkap oleh pandangan mataku. Terlalu cepat, seperti di past forward. Setelah normal kembali aku dihadapkan pula dengan kisah yang lain; dua orang sedang bertarung. Dari pakaian yang dikenakan, barangkali saja mereka pantas disebut laksemana. Aku menyaksikan pertarungan yang seimbang, sama-sama kuat. Dari percakapan yang kudengar bahwa mereka adalah sahabat lama, tetapi mengapa harus bertarung satu dengan yang lainnya? Kemudian tiba-tiba aku merasakan seolah-olah yang bertarung itu adalah aku. Yang membuat aku lebih terkejut lagi bahwa lawanku juga adalah diriku yang lainnya. Tak sempat bernafas, terperangah pula melihat di sekeliling, ada begitu banyak orang yang menyaksikan pertarungan yang ternyata adalah aku, aku dan aku. Mereka memekikkan kata “Bunuh… bunuh… bunuh !”
Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kenapa tidak sedikitpun memberikan tenaga bagiku untuk menjadi anak jantan…
Tubuhku tiba-tiba menggigil hebat. Merasakan keanehan yang luar biasa lalu seperti menciut dan keasingan itu semakin merasuk ke dalam diri. Aku tak mampu lagi duduk di ujung jambat tua ini. Satu-satunya cara kupanggil seorang yang sedang mendayung sampan, aku harus lari ke seberang. Setelah naik di atas sampan, aku mengisal mata, seolah tak percaya. Ternyata yang mendayung sampan adalah aku. Sambil tersenyum letih ia bertanya “Nak ke mana Encik?”
Entah dari mana kudapatkan keberanian dan tenaga, aku menceburkan diri ke dalam sungai yang keruh. Berenang ke seberang. Matahari semakin terik, angin yang malas menyapu tubuhku yang kini basah kuyup. Ya…aku lari dari aku yang sedang mengayuh sampan.
Sampai ke seberang, aku masih melihat aku yang di atas sampan melambaikan tangannya. Lambaian penuh makna. Tak ada pilihan lagi, nampaknya aku harus berlari. Lari dari keanehan dan keasingan ini. Dengan tekad yang kuat, aku pun memulai langkah. Tapi tunggu dulu, di pelabuhan Sungai Duku ini waktu seperti berhenti. Ya, aku mulai curiga, kulihat kiri dan kanan, depan dan belakang. “Astaga!”
Apakah ada pemandangan yang lebih gila dari yang kusaksikan sekarang ini? Orang di sekelilingku --seluruh yang ada di pelabuhan-- diam mematung. Seperti tugu-tugu mati yang mengisyaratkan misteri yang paling dalam. Sekali lagi tubuhku menggigil hebat. Merasakan keanehan itu lagi, menciut dan keasingan itu semakin merasuk ke dalam diri. Betapa tidak, ternyata yang diam mematung itu; kuli pelabuhan, penumpang, penjaga keamanan, pedagang, penjaja, supir-supir, calo, penjual karcis adalah aku. Kuperhatikan satu per satu, rupa, bentuk tubuh, gelagat mereka mencerminkan diriku, hanya pakaian mereka saja yang berbeda.
Ada aku yang gemuk, aku yang kurus, aku yang berpakian necis, gaul, dan ada aku yang berpakaian seperti peminta-peminta. Lihat! di bangku penantian penumpang aku melihat aku yang perempuan sedang menggendong aku yang masih kecil. Lengkap…! Seluruh yang ada di pelabuhan ini adalah aku dan aku.
Waktu memang berhenti di sini. Aku mulai menebak-nebak, apakah sememang hendak diabadikan momen keanehan dan keasingan yang terjadi di sini, di ibu kota provinsi ini. Tatapan mereka-aku-aku itu -menembus sampai ke relung hati. Tatapan yang di dalamnya bergejolak rasa yang sama seperti kurasakan saat ini. “Wahai…!”
Lalu aku berlari ke arah pinggir sungai seraya menyerukan kata-kata “Sungai ini dulunya bernama sungai anak jantan. Kuserukan padamu… berikan badi... berikan magimu…” sejenak hanya senyap yang sayup menikam seluruh tubuh. Gema suaraku di sebarang sana seperti memantulkan kekuatan yang tak dapat diceritakan. “Ya…lari…! “
Aku berlari… Entah sampai bila membawa keasingan ini. Mungkinkan berdamai? Kutinggalkan Pelabuhan Sungai Duku dengan segala keanehan dan keasingannya menuju ke pusat kota yang ternyata membuat aku lebih merasa terasing; gedung-gedung megah yang sunyi tak berpenghuni seperti memelihara keasingan di dalamnya, ruko-ruko yang berbaris seperti mengejek dan menjulurkan lidah-lidah keasingan, cakap-cakap yang berselerak di pasar, jalan raya, kedai kopi, mal, di dalam bus, sekolah, kantor-kantor dan di setiap sudut-sudut kota adalah bahasa keasingan yang lepas luncas dari akarnya, tubuh-tubuh yang dibalut pakaian dengan pesona yang menunjukkan identitas peradaban tinggi ternyata hanya sebatas seremonial belaka. Lagi-lagi keasingan itu yang menjelma, ia bagaikan awan hitam yang memayungi negeri ini. Lari aku terus berlari, berharap semoga tak meninggalkan jejak… langkah di mana langkah akan menjadi tempat perhentian.***
